Minggu, 04 Mei 2014

Berbagi dengan Hati (7)

PERNAHKAH Anda membayangkan: Seandainya saya tidak punya ayah sejak kecil, atau bahkan tak punya ayah-ibu sejak kanak-kanak? Pernahkah? Sekali saja, pernahkah? Mungkin tidak pernah. Siapa pula yang mau membayangkan dirinya dalam keadaan yang demikian menyedihkan? Itulah salah satu alasan yang paling layak untuk kita bersyukur atas nasib kita yang baik, atas takdir Tuhan yang tak memberatkan jalan hidup kita. Dan jika sekali saja Anda mau datang ke acara Recehan untuk Indonesia, dan berinteraksi dengan anak-anak yatim, piatu, dan dhuafa, Anda pasti akan mengerti betapa hidup ini, atas kehendak Tuhan, amat pemurah kepada Anda.

Ini satu buktinya. Dalam penyelenggaraan santunan anak yatim yang ke-7, para penggerak Recehan untuk Indonesia dibuat terhenyak oleh kisah hidup salah satu anak yang akan disantuni. Namanya Ijul. Usianya baru 4 tahun. Dia datang ditemani neneknya yang sudah renta. Tahun ajaran mendatang, Ijul akan masuk taman kanak-kanak. Sejak datang, bocah yang ternyata telah yatim piatu ini, selalu lengket pada neneknya. 

Karena Ijul agak sulit diajak berkomunikasi, maka para penggerak Recehan untuk Indonesia memilih berkomunikasi dengan neneknya. Dan dari Sang Neneklah para penggerak Recehan untuk Indonesia mendengar cerita tragis mengenai Ijul dan kakaknya, yang juga pernah disantuni pada penyelenggaraan sebelumnya. 

Setahun silam, ketika Ijul baru berusia 3 tahun, ayahnya yang seorang tukang ojek meninggal dunia karena penyakit lever yang dideritanya. Belum reda kesedihan yang mesti ditanggung, Sang Ibu menyusul – hampir dua bulan kemudian. Maka kedua bocah itu pun menjadi yatim piatu. Keduanya lantas diasuh oleh kakek-neneknya. 

“Setelah ayah ibunya meninggal, kakeknyalah yang paling telaten mengurus kedua bocah yatim piatu itu,” cerita Meity, yang mendampingi anak-anak yatim. “Tapi rupanya Tuhan menentukan jalan hidup yang sulit kita pahami sebagai manusia. Tak lama setelah ayah-ibunya meninggal, Sang Kakek juga meninggal dunia. Jadi, sekarang neneknya yang mengurus mereka. Kami, para tetangganya, merasa sangat prihatin dengan nasib dua anak yatim piatu ini, terutama karena mengingat usia neneknya yang sudah sangat lanjut,” lanjutnya, panjang lebar. 

Para penggerak Recehan untuk Indonesia juga merasa sangat prihatin dan kuatir pada nasib dua kakak-beradik yatim piatu itu.

Yang lain bergembira, Ijul tertidur
Betapa pun menyedihkan jalan hidup yang harus ditanggung Ijul dan kakak perempuannya, namun acara tak boleh terpengaruh. Karena tujuan penyelenggaraan acara ini ialah untuk menggembirakan mereka, setidaknya sebagian dari mereka. Maka para penggerak Recehan untuk Indonesia berusaha menjadikan suasana penuh kegembiraan, yaitu lewat bernyanyi bersama, dan akhirnya dengan pembagian goodybag serta santunan. 


Sambil menyembunyikan rasa sedih dan prihatin, Justina dan kawan-kawannya mengajak anak-anak itu untuk sejenak melupakan kenestapaan hidup dengan kegembiraan sederhana, yaitu bernyanyi lagu anak-anak dengan iringan organ tunggal. Memang hanya beberapa anak saja yang berani pegang mikrofon dan menyanyi. Tapi yang lain akhirnya mau juga ikut bernyanyi bersama. 

Habis Ashar acara ditutup dengan pembagian goodybag dan penyampaian santunan. Semua tampak gembira dan lega pada saat berfoto bersama, sebelum anak-anak itu diantar ke kendaraan yang akan membawa mereka pulang ke rumahnya masing-masing.

Ulang tahun rombongan
 Selesai menyelenggarakan acara santunan buat anak-anak yatim yang ke-7, giliran para penggerak Recehan untuk Indonesia menghibur diri, dan berusaha melupakan endapan rasa sedih dan prihatin yang ditinggalkan oleh anak-anak yatim pada sanubari terdalam mereka. Mereka bernyanyi dan bersenda-gurau, sambil juga memikirkan dan membahas apa-apa yang harus mereka usahakan buat anak-anak yatim itu, untuk lebih membantu mereka di hari-hari selanjutnya. 

Kebetulan ada yang ingat bahwa pada minggu-minggu itu ada beberapa di antara mereka yang berulangtahun. Maka acara kejutan, tiup lilin rombongan pun dilaksanakan. Justina meminjam lilin besar dari pengelola kafe, menyalakannya, dan menjadikan sewadah combro sebagai kue ulang tahunnya. Dengan berpura-pura, dan menganggap sewadah combro dan lilin besar itu sebagai kue ulang tahun, mereka yang berulangtahun pada minggu-minggu diminta meniup lilin secara bergantian. Dan suasana segera menjadi meriah oleh kegembiraan yang spontan itu. 

“Seperti inilah cara kami bergaul di antara penggerak Recehan untuk Indonesia,” ungkap Linda, “Saling menghibur dengan cara-cara spontan dan seadanya. Tapi ya di situlah asyiknya,” lanjutnya merasa happy. 

Anda berminat bergabung dengan komunitas gerakan moral ini? Anda cukup datang saja ke acara mereka, dan Anda sudah menjadi bagian dari mereka. Karena prinsip mereka, siapa pun yang hadir untuk ikut berpartisipasi, dengan apa pun, maka dia sudah masuk sebagai penggerak Recehan untuk Indonesia – pada saat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar